C.S. Lewis, seorang pemikir besar dari zaman lampau, membahas banyak keberatan yang masih relevan bahkan sampai sekarang. Salah satu perbandingan yang dia buat adalah argumen ateis dengan seorang narapidana di rumah sakit jiwa yang terobsesi dengan kata “kegelapan”. Lewis menyatakan bahwa argumen melawan Tuhan sering kali tidak masuk akal, seperti halnya obsesi narapidana terhadap “kegelapan” yang tidak melihat realitas matahari.
Salah satu keberatan umum terhadap kekristenan adalah tentang rasa sakit, kejahatan, dan penderitaan di dunia. Banyak orang skeptis berpendapat bahwa jika Tuhan itu baik dan berkuasa, maka dunia tidak akan penuh dengan kekerasan dan ketidakadilan seperti sekarang.
Mereka berargumen bahwa jika Tuhan ada, maka Dia tidak akan membiarkan dunia dalam keadaan seperti ini. Ada tiga kemungkinan yang mereka ajukan: Pertama, Tuhan tidak tahu bagaimana memperbaikinya. Kedua, Tuhan jahat dan tidak peduli. Atau ketiga, Tuhan ingin memperbaikinya tapi tidak mampu melakukannya.
Namun, sebelum kita terburu-buru mengambil kesimpulan, mari kita pikirkan ulang. Bagaimana kita bisa menilai sesuatu sebagai baik atau jahat tanpa standar yang objektif? Tanpa Tuhan sebagai standar tertinggi kebaikan, semua penilaian kita hanyalah spekulasi semata.
Ketika kita menyatakan bahwa sesuatu itu baik atau buruk, kita sebenarnya sedang membandingkannya dengan standar kebaikan, yaitu Tuhan. Kita sadar bahwa Tuhan adalah sumber dari segala kebaikan, cinta, kekuatan, dan lain-lain. Ketika kita mengatakan bahwa seseorang baik atau jahat, kita sebenarnya sedang membandingkan tindakannya dengan standar kebaikan yang ditetapkan oleh Tuhan.
Dalam dunia tanpa Tuhan, tidak ada yang benar-benar indah atau jelek. Kita tidak bisa memiliki standar yang jelas untuk menentukan baik atau buruknya suatu tindakan. Oleh karena itu, keberatan terhadap kekristenan berdasarkan masalah kejahatan tidak bisa begitu saja meniadakan keberadaan Tuhan.
Dalam menyikapi keberatan-keberatan ini, penting bagi kita untuk tidak terjebak dalam pemikiran sempit. Kita perlu mengambil perspektif yang lebih luas dan memahami bahwa keberadaan Tuhan sebagai standar kebaikan memberikan makna yang mendalam dalam penilaian kita terhadap dunia ini.
Setiap hari, kita membuat penilaian tentang apa yang baik dan buruk, tentang apa yang indah dan berisik. Kita berkomentar tentang tindakan sebagai heroik atau pengkhianatan, tentang musik yang indah atau mengganggu telinga. Namun, kita hanya bisa melakukan itu karena ada standar yang menjadi tolok ukur kita. Namun, apa yang terjadi jika kita menghilangkan Tuhan dari persamaan?
Dalam dunia tanpa Tuhan, tidak ada landasan yang kuat untuk menilai apa yang baik atau buruk secara objektif. Tanpa Tuhan, semua yang tersisa hanyalah ruang penuh dengan opini. Dalam konteks ini, mengapa kita harus menganggap pandangan seorang ateis lebih berharga daripada suara anjing yang menggonggong?
Tanpa Tuhan sebagai titik acuan, tidak ada standar untuk menentukan apa yang baik atau buruk. Yang ada hanyalah “sesuatu terjadi”, tanpa penilaian yang bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa Tuhan, moralitas dan estetika kehilangan landasan yang kuat.
Namun, kita perlu merenung bahwa keberadaan kejahatan di dunia menunjukkan perlunya adanya Tuhan sebagai Penguasa yang benar. Karena Tuhan adalah sumber dari kebenaran, kebaikan, dan keindahan, kita dapat memahami dunia ini dengan lebih baik. Setiap manusia memiliki hati nurani moral dan kepekaan estetika, karena kita mencerminkan sifat Tuhan yang baik.
Jadi, ketika mendengar orang skeptis mencela Tuhan karena rasa sakit dan kejahatan di dunia, kita dapat bersyukur karena kita memiliki kepercayaan pada Tuhan yang benar. Karena dalam keberadaan Tuhan, kita dapat terus mengembangkan hati nurani dan kepekaan estetika kita. Dengan demikian, kita dapat terus menilai apa yang lebih baik: cinta atau narsisme, kebenaran atau kesombongan, musik Brian Wilson atau Drake.