Inggris Raya dilanda kerusuhan besar sejak 31 Juli 2024, yang lebih parah daripada kerusuhan tahun 2011. Kerusuhan ini bermula dari insiden penusukan di Southport yang menewaskan tiga anak. Identitas pelaku yang awalnya dirahasiakan menyebabkan teori konspirasi bahwa pelakunya adalah seorang imigran Muslim, memicu kemarahan kelompok ekstrem kanan seperti Liga Pembela Inggris (EDL).

Hoaks yang menyebar di media sosial dengan cepat memperburuk situasi, menyebabkan kerusuhan meluas ke kota-kota besar seperti London, Liverpool, dan lainnya. Di London, pengunjuk rasa menyerang rumah dinas Perdana Menteri Keir Starmer, sementara di Liverpool, perpustakaan yang banyak melayani imigran dibakar oleh massa.

Para perusuh umumnya adalah pendukung ideologi ekstrem kanan, fasis, dan neo-Nazi yang memanfaatkan isu imigran sebagai alat provokasi. EDL dikenal sebagai gerakan sayap kanan terkuat di Inggris, yang langsung menghasut masyarakat untuk saling membenci tanpa masuk ke ranah politik formal.

Kerusuhan ini didorong oleh disinformasi yang cepat menyebar di media sosial. Akun-akun media sosial seperti “Invasi terhadap Eropa” mengklaim bahwa pelaku penusukan adalah seorang imigran Muslim, yang ternyata adalah hoaks. Tokoh ekstrem kanan seperti Stephen Yaxley-Lennon, alias Tommy Robinson, juga ikut menyebarkan kebohongan ini, memperkeruh suasana. Peran perusahaan media sosial dan penyebaran informasi palsu menjadi faktor utama dalam meluasnya kerusuhan ini.

Pemerintah Inggris, di bawah pimpinan PM Starmer, menghadapi tantangan besar dalam mengatasi kerusuhan ini. Identitas pelaku penusukan akhirnya diumumkan sebagai Alex Rudakubana, seorang pemuda berusia 17 tahun dengan latar belakang keluarga keturunan Rwanda. Langkah ini diambil untuk meredam hoaks yang menyebar, meskipun langkah tersebut kontroversial karena hukum Inggris melarang pengungkapan identitas anak di bawah umur yang terlibat kasus hukum.

Isu imigran yang sudah lama menjadi ketegangan di Inggris, diperburuk oleh retorika sayap kanan yang menentang keberadaan imigran dan warga kulit berwarna. Pada pemilu Juli 2024, mantan Perdana Menteri Rishi Sunak pernah berjanji untuk menghentikan imigrasi ilegal, namun kebijakan ini dibatalkan oleh Starmer setelah terpilih. Ini semakin memanaskan situasi, terutama di kalangan pendukung sayap kanan.

Pemerintah Inggris juga melibatkan para pemuka agama untuk menyerukan ketenangan di tengah masyarakat. Meskipun upaya penangkapan telah dilakukan dengan lebih dari 370 orang ditahan, situasi tetap tegang dan menantang.

Dari kerusuhan ini, pelajaran penting yang bisa diambil adalah perlunya menangani isu-isu sosial seperti imigrasi dan pentingnya kewaspadaan terhadap disinformasi yang bisa memicu konflik besar dalam masyarakat. Forum Ekonomi Dunia telah menyebut disinformasi sebagai salah satu ancaman global terbesar, dan kerusuhan di Inggris ini membuktikan betapa bahayanya jika informasi palsu tidak ditangani dengan cepat dan tepat.